Olimpiade Paris 2024: Kontroversi Larangan Hijab dan Solusi yang Ditawarkan

  • Whatsapp
Olimpiade Paris 2024: Kontroversi Larangan Hijab dan Solusi yang Ditawarkan

Olimpiade Paris 2024 – Perdebatan mengenai hak kebebasan beragama kembali mencuat di Prancis setelah seorang pelari Muslim, Sounkamba Sylla, yang tergabung dalam tim estafet 400m wanita dan campuran, menghadapi larangan mengenakan hijab pada upacara pembukaan Olimpiade Paris 2024. Kejadian ini menyoroti ketegangan antara hukum sekularisme Prancis dan hak individu untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka.

Prancis memiliki hukum sekularisme yang ketat, yang melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di ruang publik. Pada September tahun lalu, Menteri Olahraga Prancis mengumumkan bahwa atlet yang mewakili Prancis tidak boleh menampilkan simbol agama, termasuk hijab, selama acara olahraga. Keputusan ini menuai kritik dari kelompok hak asasi manusia dan PBB, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh dipaksa untuk mengenakan atau tidak mengenakan pakaian tertentu.

Tanggapan Sounkamba Sylla

Sounkamba Sylla, yang mengenakan hijab sebagai bagian dari keyakinannya, mengungkapkan kekecewaannya di media sosial. “Anda terpilih untuk Olimpiade yang diadakan di negara Anda, tetapi Anda tidak bisa berpartisipasi dalam upacara pembukaan karena Anda mengenakan hijab,” tulis Sylla yang berusia 26 tahun.

Tanggapan dan Kritik

Kelompok hak asasi manusia segera meminta pemerintah Prancis untuk membatalkan keputusan tersebut, menggambarkannya sebagai tindakan diskriminatif yang membuat banyak atlet Muslim merasa “tidak terlihat, dikecualikan, dan dipermalukan”. Selain itu, PBB mengkritik kebijakan tersebut dengan menyatakan bahwa tidak ada yang berhak memaksakan apa yang harus dikenakan oleh seorang wanita atau tidak dikenakan.

Meskipun peraturan ini tidak mempengaruhi atlet asing yang berkompetisi di Prancis untuk Olimpiade, kontroversi ini tetap menimbulkan ketegangan di antara para atlet dan masyarakat umum. Ribuan atlet, termasuk beberapa yang mengenakan hijab, mulai tiba di Prancis, dan pemerintah tampaknya berusaha meredam ketegangan antara hukum laïcité tentang pemakaian simbol keagamaan dan persepsi bahwa hukum ini mendiskriminasi umat Muslim.

Upaya Mencari Solusi

David Lappartient, presiden Komite Olimpiade Prancis, menekankan bahwa atlet Prancis harus mematuhi prinsip-prinsip sekularisme. “Mungkin ini kadang tidak dapat dipahami di negara lain di dunia, tetapi ini adalah bagian dari DNA kami di Prancis,” katanya.

Menteri Olahraga dan Olimpiade dan Paralimpiade Prancis, Amélie Oudéa-Castéra, menyatakan bahwa pihak berwenang bekerja untuk menemukan solusi yang memuaskan semua pihak. “Warga kami mengharapkan kami untuk mengikuti prinsip-prinsip sekularisme ini, tetapi kami juga perlu kreatif dalam mencari solusi agar semua merasa nyaman,” ujarnya.

Kesepakatan dan Dampaknya

Pada Rabu malam, Sounkamba Sylla mengumumkan bahwa telah dicapai kesepakatan yang memungkinkan dia untuk berpartisipasi dalam upacara pembukaan. Meski tidak memberikan rincian lebih lanjut, Komite Olimpiade Prancis menyatakan kepada Agence France-Presse bahwa Sylla menerima ide untuk mengenakan topi saat parade berlangsung di sepanjang Sungai Seine.

Namun, solusi ini tampaknya tidak meredakan ketidakpuasan terhadap aturan Prancis. Dalam sebuah video yang diposting di media sosial, petinju Australia Tina Rahimi menyatakan bahwa dia bersyukur bisa berkompetisi sambil mengenakan hijab.

“Tetapi sangat disayangkan bagi atlet di Prancis karena ini tidak ada hubungannya dengan kinerja Anda. Dan itu seharusnya tidak menghalangi Anda menjadi seorang atlet,” kata Rahimi. “Sangat sulit bagi Anda menjadi atlet Olimpiade dan berpikir bahwa Anda harus menyerahkan keyakinan Anda untuk berpartisipasi dalam acara ini.”

Kontroversi seputar larangan hijab di Olimpiade Paris 2024 menyoroti ketegangan antara prinsip sekularisme Prancis dan hak individu untuk mengekspresikan keyakinan agama mereka. Meskipun solusi sementara telah ditemukan bagi Sounkamba Sylla, perdebatan ini menunjukkan perlunya dialog yang lebih mendalam tentang cara menyeimbangkan antara hukum sekularisme dan hak-hak kebebasan beragama. Dalam konteks global, penting untuk menciptakan lingkungan inklusif yang menghormati berbagai keyakinan dan praktik agama, terutama di acara internasional seperti Olimpiade.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *